Indonesia masih belum mengenal sosok wanita hebat yang satu ini, namun
Polri beruntung memiliki sosok Polwan pandai, enerjik, dan inspiratif.
Namanya Sumy Hastry Purwanti, pangkatnya Ajun Komisari Besar (AKBP).
Ia menjadi figur penting bagi jajaran kepolisian Indonesia karena
Polwan yang satu ini menyandang profesi dokter yang juga bergelar
Doktor. Nah, lengkapnya adalah AKBP Dr. Sumy Hastry Purwanti, dr, DFM.
Sp.F. Saat ini Hastry menjabat sebagai Kasubbid Dokpol Bid Dokkes
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah.
Tak berlebihan menyebut Hastry – panggilan akrabnya – sebagai Polwan
perkasa. Betapa tidak, dengan jabatan serta sederet gelar akademik
yang disandangnya, wanita kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1970 adalah
dokter ahli forensik. Dialah satu-satunya doktor wanita ahli forensik
yang dipunyai Polri.
Jika Anda penggemar CSI, film pendek bertema kriminal yang melibatkan
polisi-polisi cantik ahli forensik di kepolisian Amerika Serikat, nah
seperti itulah kira-kira tugas yang kerap dilakoninya.
Hastry adalah satu-satunya Polwan yang ikut dalam beberapa kali
pelaksanaan eksekusi mati di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan,
Cilacap. Baginya, mengikuti pelaksanaan eksekusi mati adalah
pengalaman luar biasa. "Eksekusi mati 2008, 2011, 2013, 2015, dan yang
terakhir Juli 2016 kemarin," kata Sumy.
Seperti dituturkan Hastry, tugas pertamanya pada 2008 adalah saat
eksekusi dua terpidana kasus terorisme Imam Samudra dan Amrozi.
Sebagai ahli forensik, ibu dua anak ini terlibat langsung dalam
rangkaian pelaksanaan eksekusi. Tugas utamanya adalah memeriksa
kesehatan terpidana mati yang akan dieksekusi.
Selain itu, tugas penting berikutnya adalah menentukan titik bidik
yang menjadi sasaran juru tembak. "Sebagai dokter, kami yang paling
tahu titik mematikan yang harus dibidik," katanya.
Tidak berhenti sampai di situ. Pasca terpidana mati dinyatakan
meninggal dunia usai ditembak, Sumy masih harus membawa jenazah
terpidana mati ke pemulasaran untuk dipersiapkan sebelum
dikuburkan."Ada keluarga yang minta agar dimandikan. Kalau WNA yang
akan dipulangkan ke negara asalnya juga ada perlakukan tersendiri,"
katanya.
Profesi sebagai ahli forensik sudah digelutinya lebih dari sepuluh
tahun. Pastinya, banyak pengalaman yang didapatkan.
Pengalaman-pengalaman penting itu kemudian dia dokementasikan dalam
buku. Hingga kini, setidaknya sudah tiga buku ia terbitkan. Bahkan,
kini dia bersiap meluncurkan buku keempatnya berjudul "Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak Dari Segi Ilmu Kedokteran Forensik".
Gelar Doktor Forensik diraihnya setelah menyelesaikan desertasi
berjudul "Variasi Genetika Pada Populasi Batak, Jawa,Dayak, Toraja dan
Trunyan dengan Pemeriksaan D-Loop Mitokondria DNA Untuk Kepentingan
Identifikasi Forensik di Universitas Airlangga", Surabaya. Keenceran
otaknya membuat Hastry lulus dengan cumlaude dengan pujian.
Dia ingin membuktikan kepada masyarakat bahwa tulang manusia pun masih
bisa diselidiki dan menentukan identitas tulang tersebut. "Total
sampel ada 70, namun yang berhasil diperiksa 50. Rata rata sampel yang
saya ambil sudah meninggal selama 50 tahun," katanya.
Hastry menceritakan, untuk bisa mengambil sampel kerangka manusia
Batak, dia harus membongkar tugu dimana kerangka manusia itu
dikuburkan. "Saya harus berhadapan dengan adat istiadat, terlebih bagi
keluarga sampel yang akan diteliti awalnya menolak. Karena bagi mereka
itu hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya," katanya
mengungkapkan.
Hastry juga merasa bersyukur karena dukungan dari institusi Polri
selama ia menyelesaikan gelar Doktornya sangat tinggi. "Karena saya
polisi, jadi pengurusan izinnya juga mudah. Selama penelitian, mencari
sampel juga dibantu sama polisi di daerah sampai menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian saya ke keluarga sampel yang akan saya teliti.
Kalau saya dokter biasa, mungkin sampai sekarang penelitian saya belum
selesai," kata Hastry.
Sumber : http://ntmcpolri.info/akbp-sumy-hastry-penentu-titik-bidik-pada-eksekusi-terpidana-mati/
Baca berita dapat uang, klik Disini